Pengembangan Karir – Atasan Sering Berubah Keputusan

Share Social

Pengembangan Karir – Atasan Sering Berubah Keputusan

pengembangan karir dimanfaatkan karyawan baru

Bu, saya bekerja sebagai Asisten Manajer sebuah perusahaan pembiayaan. Dalam porsi-porsi tertentu saya punya wewenang untuk memutuskan suatu hal. Tapi dalam beberapa hal, saya harus minta persetujuan atasan saya (Manajer). Kebingungan sering muncul ketika keputusan harus melibatkan dia. Bukan apa-apa sebenarnya, tapi  karena ia orang yang gampang merubah keputusan. Kemarin memutuskan A, pagi tadi keputusan bisa berubah. Tadi pagi X, sore hari bisa Y.

Kalau itu masalah intern kantor, masih gampang dibereskan. Tapi kalau sudah menyangkut pihak luar, saya seringkali yang jadi tumbal kemarahan orang lain. Karena dianggap plin-plan. Tapi mau gimana lagi, wong dalam hal tersebut bukan saya yang berwenang dalam keputusannya. Kejadian demikian bisa terjadi satu sampai dua kali dalam empat bulan. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi pada saya saja, tetapi juga kepada rekan kerja selevel yang lain. Tapi kalau sering begitu, gawat juga, bukan… Dengan kondisi tersebut, terus terang saja, saya juga tidak mau berlama-lama bekerja dengan atasan yang demikian.

Lalu, supaya saya tidak sering bingung bersikap, saya harus bagaimana? Bagaimana mengantisipasi supaya kejadian malu yang saya alami tidak sering-sering terjadi? Mohon bantuannya, Bu… Terima kasih banyak dan salam manis untuk Ibu.   Andreas, Pasuruan

Jawaban:

Sdr. Andreas, proses pengambilan keputusan adalah suatu tahap proses pemikian yang berawal dari identifikasi masalah dan berakhir dengan pelaksanaan keputusan tersebut. Identifikasi masalah adalah proses mencari informasi yang relevan dengan keputusan tersebut. Selanjutnya menganalisa dan menguji alternatif-alternatif penyelesaian yang ada. Termasuk juga memikirkan dan mempertimbangkan akibat dari masing-masing pilihan. Baru kemudian proses pengambilan keputusan itu sendiri.

Makin kompleks masalah, maka proses tersebut akan makin panjang dan bisa saja lama karena makin banyak pertimbangan yang diperlukan. Yang sulit adalah ketika antara alternatif satu dengan yang lain sama baiknya atau sama berat konsekuensinya. Sebenarnya dengan memakai skala prioritas hal ini dapat diatasi. Selain itu, kesadaran bahwa selalu ada resiko dari keputusan yang diambil; baik ambil keputusan dengan cepat ataupun menunda keputusan yang berarti juga menghilangkan kesempatan.

Kasus yang sering terjadi dalam pengambilan keputusan biasanya karena orang tersebut perfeksionis. Jadi keputusan yang diambil inginnya memuaskan semua pihak, berjalan dengan sempurna dan hasilnya maksimal. Bisa juga terjadi karena yang bersangkutan seorang yang kreatif, sehingga alternatif yang dipilih selalu berkembang.  Banyak ide yang dipikirkan, yang pada akhirnya tidak terealisasi karena tidak sempat mewujudkannya.

Dalam kasus yang lain, seperti yang terjadi pada atasan Anda, yaitu keputusan sering berubah. Tanpa bermaksud membenarkan apa yang telah dia lakukan, cobalah untuk memahami perspektif atasan. Pahami mengapa itu bisa terjadi atau mengapa dilakukan. Jadi jangan hanya melihat bahwa Anda direpotkan karenanya, tetapi bisa jadi  ia harus mereview keputusan karena dari analisa dampak dan lalin-lain, keputusan tersebut lebih baik ditunda atau dibatalkan.

Beberapa alternatif penyebab atau latar belakangnya adalah karena faktor bawaan, seperti kepribadian. Selain itu, bisa jadi karena pengalaman masa lalu. Seorang yang tidak terbiasa mandiri, akan selalu bimbang ketika harus memutuskan. Apalagi jika keputusan tersebut berdampak terhadap orang banyak, mengandung resiko biaya, material ataupun reputasi. Pengalaman buruk mengambil keputusan yang keliru di pekerjaan sebelumnya, membuat orang sangat berhati-hati ketika di kemudian hari harus mengambil keputusan yang sifatnya strategis.

Pola pikir yang tidak sistematis, membuat tahapan proses pengambilan keputusan di atas berjalan melompat-lompat. Seperti orang panik, menyelesaikan satu masalah belum selesai, sudah beralih ke yang lain. Ketika memikirkan alternatif, tiba-tiba teringat aspek lain yang belum dipertimbangkan. Selain itu, pada saat yang sama juga memikirkan  langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakannya. Belum lagi karena ada masukan-masukan dari pihak lain, keputusan yang sudah diambil, bisa saja berubah.

Jalan keluarnya adalah terimalah atasan apa adanya, sebagai seorang individu yang mempunyai kelemahan dan kelebihan. Tidak perlu berusaha menggurui. Yang penting atasan tahu bahwa Anda tidak berusaha menjatuhkan martabatnya. Dengan demikian, ia merasa tidak perlu berpura-pura “sok tahu” atau “sok pintar” di depan anak buahnya. Sehingga dalam mengambil keputusan akan  lebih berkonsetrasi.

Dukungan emosional yang bisa Anda berikan adalah dengan mengajak berdiskusi ketika Anda menangkap keraguan ketika ia akan mengambil keputusan. Toh, selisih level Anda dengan atasan tidak terlalu jauh. Dengan demikian secara tidak langsung Anda membantu memilah masalah secara terstruktur. Karena sebenarnya mengambil keputusan adalah hasil akhir dari proses memilah masalah secara terstruktur dengan mempertimbangkan seluruh aspek dampaknya. Sehingga bukan orang tersebut tidak mampu, tetapi cara menguraikan masalah yang tidak terstruktur tersebut menyulitkannya dalam menetapkan keputusan yang diambil. (*)